ANJURAN DAN KEUTAMAN DO'A RAMDAHAN
Resume : Kultum ( Kuliah Tujuh Menit ) Ramadhan
Hari/Tanggal : Senin, 15 juli 2013
Tempat : Masjid Umul Quro’
Penceramah : Ustad
Hassanudin
banyak sekali nash-nash yang memotivasi
untuk berdo'a, menerangkan fadhilah (keutamaan)nya dan mendorong agar suka
melakukannya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah I:
"Dan
Tuhanmu berfirman: Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu."
(Ghaafir: 60).
Di
dalamnya Allah I memerintahkan berdo'a dan Dia menjamin akan mengabulkannya.
2. Firman Allah I:
"Berdo'alah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-A'raaf:
55).
Maksudnya,
berdo'alah kepada Allah I dengan menghinakan diri dan secara rahasia, penuh
khusyu' dan merendahkan diri. "Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas." Yakni tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas, baik dalam berdo'a atau lainnya, orang-orang yang melampaui
batas dalam setiap perkara. Termasuk melampaui batas dalam berdo'a adalah
permintaan hamba akan berbagai hal yang tidak sesuai untuk dirinya atau dengan
meninggikan dan mengeraskan suaranya dalam berdo'a.
Dalam
Shahihain, Abu Musa Al-Asy'ari berkata: "Orang-orang meninggikan suaranya
ketika berdo'a, maka Rasulullah r bersabda:
"Wahai
sekalian manusia, kasihanilah dirimu, sesungguhnya kamu tidak berdo'a kepada
Dzat yang tuli, tidak pula ghaib. Sesungguhnya Dzat yang kamu berdo'a pada-Nya itu
Maha Mendengar lagi Maha Dekat."
3. Firman Allah I:
"Atau
siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan?". (An Naml: 62).
Maksudnya,
apakah ada yang bisa mengabulkan do'a orang yang kesulitan, yang diguncang oleh
berbagai kesempitan, yang sulit mendapatkan apa yang ia minta, sehingga tak ada
jalan lain ia baru keluar dari keadaan yang mengungkunginya, selain Allah
semata? Siapa pula yang menghilangkan keburukan (malapetaka), kejahatan dan
murka, selain Allah semata?
4. Dari An-Nu'man bin Basyir t,
dari Nabi r, beliau r bersabda:
"Do'a
adalah ibadah." (HR. Abu Daud dan At-TiYmidzi, At-Tirmidzi berkata,
hadits hasan shahih).
5. Dari Ubadah bin Asb-Shamit t ia
berkata, sesungguhnya Rasulullah r bersabda:
"Tidak
ada seorang muslim yang berdo'a kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan
kecuali Dia mengabulkannya, atau menghilangkan dauipadanya keburukan yang
semisalnya, selama ia tidak meminta suatu dosa atau pemutusan kerabat.
" Maka berkatalah seorang laki-laki dari kaum: "Kalau begitu, kita
memperbanyak (do'a)."
Rasulullah
r bersabda: "Allah memberikan kebaikan-Nya lebih banyak daripada yang
kalian minta." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih). (Lihat
kitab Riyaadhus Shaalihiin, hlm. 612 dan 622). Lalu Allah I berfirman :
"Dihalalkan
bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahrvasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
cavilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, dan makan minumlah
hinngga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertaqwa." (Al-Baqarah:187)
Sebab turunnya ayat:
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari
Al-Barra' bin 'Azib, bahwasanya ia berkata :
"Dahulu, para sahabat Nabi r, jika seseorang (dari mereka) berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al-Anshari dalam keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika datang waktu berbuka, ia mendatangi isterinya seraya berkata padanya: "Apakah engkau memiliki makanan ?" Ia menjawab: "Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan untukmu." Padahal siang harinya ia sibuk bekerja, karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah isterinya. Tatkala ia melihat suaminya (tertidur) ia berkata: "Celaka kamu." Ketika sampai tengah hari, ia menggauli (isterinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabi r, sehingga turunlah ayat ini:
"Dihalalkan bagimu pada malam
hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu."
Maka mereka sangat bersuka cita
karenanya, kemudian turunlah ayat berikut:
"Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Lihat
kitab Ash Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul, hlm. 9.)
Tafsiran ayat:
Allah I berfirman untuk memudahkan para
hamba-Nya sekaligus untuk membolehkan mereka bersenang-senang (bersetubuh)
dengan isterinya pada malam-malam bulan Ramadhan, sebagaimana mereka dibolehkan
pula ketika malam hari makan dan minum:
"Dihalalkan bagimu pada malam
hari bulan puasa melakukam "rafats" dengan isteri- isterimu."
Rafats adalah bersetubuh dan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya. Dahulu, mereka dilarang melakukan hal tersebut
(pada malam hari), tetapi kemudian Allah membolehkan mereka makan minum dan
melampiaskan kebutuhan biologis, dengan bersenang-senang bersama isteri-isteri
mereka. Hal itu untuk menampakkan anugerah dan rahmat Allah I pada
mereka.
Allah I menyerupakan wanita dengan
pakaian yang menutupi badan. Maka ia adalah penutup bagi laki-laki dan pemberi
ketenangan padanya, begitupun sebaliknya.
Ibnu Abbas berkata: "Maksudnya
para isteri itu merupakan ketenangan bagimu dan kamu pun merupakan ketenangan
bagi mereka."
Dan Allah I membolehkan menggauli para
isteri hingga terbit fajar. Lalu Dia mengecualikan keumuman dibolehkannya
menggauli isteri (malam hari bulan puasa) pada saat i'tikaf. Karena ia adalah
waktu meninggalkan segala urusan dunia untuk sepenuhnya konsentrasi beribadah.
Pada akhirnya Allah I menutup ayat-ayat yang mulia ini dengan memperingatkan agar
mereka tidak melanggar perintah-perintah-NYa dan melakukan hal-hal yang
diharamkan serta berbagai maksiat, yang semua itu merupakan
batasan-batasan-Nya. Hal-hal itu telah Dia jelaskan kepada para hamba-Nya agar
mereka menjauhinya, serta taat berpegang teguh dengan syari'at Allah I sehingga
mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa. (Tafsir Ayaatil Ahkaam, oleh
Ash-Shabuni, I/93.)
By: Retno
Suci Safitri
0 komentar: